Seiring perkembangan zaman, banyak konten horor yang dikupas di media sosial. Seperti kisah Tanah Jawa, konten horor yang mengungkap tentang mitos sejarah dan mistis di seluruh pulau Jawa. Kisah Tanah Jawa telah populer di Twitter dan Youtube. Bahkan sekarang Kisah Tanah Jawa telah mendokumentasikan kisah-kisah tersebut dalam sebuah buku. Tak jarang kisah-kisah yang mereka bagikan di Youtube dan Twitter menjadi trending.
Tulisan terbaru yang ditulis oleh Kisah Tanah Jawa melalui akun sodial media Twitter @kisahtanahjawa dan sedang hangat dibicarakan oleh warga Twitter yaitu ”Hubungan Magis Merapi dan Laut Selatan”. Seperti apakah ceritanya?
![]() |
source : @kisahtanahjawa |
Sebagai masyarakat Jawa terutama Jawa Kuno, Gunung Merapi, Laut Selatan, dan Keraton Yogyakarta memiliki keterkaitan kosmologis tersendiri.
Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa dalam kosmologi Jawa, kita mengenal ada istilah jagat cilik dan jagat gede. Jika kehidupan di dunia ini merupakan sebuah harmoni antara keduanya, maka keharmonisan itu harus dijaga satu sama lain.
Jika kita sebut Gunung Merapi dan Laut Selatan adalah pusat dari kedudukan jagat cilik, maka Keraton sendiri adalah pusat dari jagat gede, Gunung Merapi di utara disebut sebagai pusat Kerajaan Jin. Sementara Laut Selatan diyakini sebagai pusat tahta Ratu Kidul. Itulah mengapa penghuni Keraton selalu melakukan ritual-ritual penghormatan di Gunung Merapi dan Laut Selatan.
Dalam filosofi Jawa, Laut Selatan disebut juga sebagai simbol keseimbangan. Sebagian masyarakat Jawa percaya, bahwa Laut Selatan akan murka, jika masyarakatnya tidak bisa menjaga alam dengan baik. Sebagai Ibu alam dalam mitologi Jawa, Laut Selatan adalah gambaran tentang keberadaan pemimpin perempuan sebagai penjaga semesta, menjaga keselarasan antara kehidupan manusia dengan alam, dan menjamin kelangsungan kehidupan di Tanah Jawa pada khususnya.
Puncak Merapi sebagai poros Utara dan Laut Selatan sebagai poros Selatan adalah kedua poros sakral, yang melintasi Monumen Tugu di dekat Stasiun Kereta Api menuju sepanjang jalan Malioboro. Dari jalan yang terkenal itu, garis kosmik Poros Utara-Selatan ini membentang ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta menuju Alun-alun Selatan. Selanjutnya garis itu kemudian melintas Bantul, sebelum akhirnya sampai di Laut Selatan.
Selain kita sebut sebagai garis imajiner, Yogyakarta juga memiliki sumbu filosofis yakni Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak yang dihubungkan secara nyata berupa jalan.
Sumbu filosofis itu melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama, serta manusia dengan alamnya. Panggung Krapyak ke utara hingga Keraton adalah simbol diri kita dari mulai lahir, dewasa, berumah tangga, hingga melahirkan keturunan. Sementara dari Tugu Keraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta. Selain itu ada juga makna dari sisi kepercayaan masyarakat Jawa.
Laut Selatan yang melambangkan perempuan, dan Gunung Merapi yang melambangkan laki-laki, seperti hubungan antara Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak, simbol Lingga dan Yoni sebagai lambang kesuburan. Dari semuanya itu Keraton Yogyakarta menjadi pusatnya, menjadi penghubung dan penyeimbang di antara keduanya.
Hubungan antara Gunung Merapi dan Laut Selatan sampai saat kini pun masih terjalin kuat. Jika Gunung Merapi bergejolak, maka laut pun akan bergoyang. Hal ini pernah terbukti pada saatnerupsi Merapi terjadi berkali-kali, pada saat itu juru kunci Merapi mencoba naik meuju lereng Merapi untuk memohon agar Merapi berhenti erupsi, usaha yang dilakukan Juru Kunci itu akhirnya mampu berhasil menghentikan erupsi. Namun, yang kemudian terjadi justru hantaman ombak pantai Laut Selatan. Hantaman ombak yang dapat memakan korban jiwa, bahkan sempat terdengar isu akan terjadinya tsunami. Membuat masyarakat terutama mereja yang berada di sekitar Pantai Laut Selatan menjadi ketakutan. Meski pada akhirnya tsunami tidak terjadi, namun fenomena alam seperti itu bisa menjadi peringatan dari penguasa Merapi maupun Laut Selatan.
Kerusakan moral dan spiritual dengan segala akar masalahnya, menjadi penyebab kemarahan dari Penguasa Merapi maupun Laut Selatan. Kesadaran masyarakat terutama yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam sangat dibutuhkan. Bagaimana pun keberadaan sebuah tradisi lokal seperti ritual-ritual penghprmatan terhadap Gunung Merapi maupun Laut Selatan, dapat menumbuhkan integrasi masyarakat Jawa pada khususnya untuk bersama-sama saling menghargai keseimbangan.
(Fina Rahmatika/1740210038)
0 Komentar