Kirab Banyu Panguripan Tradisi
Tahunan Di Kudus



Siang itu, udara Alun-alun Simpang Tujuh Kudus sunguh menyengat.  Angin panas sesekali berhembus menembus pori-pori kulit yang tak kuasa membendung keringat. Benar saja, cuaca pukul 13.00 itu menunjukkan 32 derajat. Tentu hal itu tidak mematahkan semangat peserta kirab banyu panguripan yang tengah bersiap-siap untuk mengikuti upacara kirab. Ada yang berpakaian lurik maupun baju seragam batik. Masing-masing gentong yang berasal dari 51 sumber mata air sudah berjejer rapi di pelataran Alun-alun Kudus.

Sebelum kirab dari Alun-alun menuju Menara, apel dibuka  pelaksana tugas Bupati Kudus, disampaikan Sekretaris Daerah Kabupaten Kudus, Sam'ani yang mengenakan atasan putih dengan bawahan jarik dilengkapi blangkon sebagai penutup kepala. Bersama Ketua NU Cabang Kudus,  terlihat memakai seragam NU melangsungkan pemotongan tumpeng sebagai penghormatan Hari Lahir NU yang bersaman dengan hari Ta’sis Menara Kudus.

Dalam hal itu, Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3ES), Muhammad Nadjib Hassan, mengatakan, Kudus sebagai kota baldatum toyyibah wa robbun ghofur yang pada Selasa Legi, 19 Rajab 956 H/ 23 Agustus 1549 M. merupakan hari  ulang tahun atau Ta'sis Masjid Al Aqsha Menara Kudus ke-485. Bertepatan dengan itu, 3 hari sebelumnya yakni 16 rajab sekaligus memperingati hari lahir jamiyah Nahdlatul Ulama.  Dua diantara penggagas Nahdlatul Ulama adalah Mbah KH Raden Asnawi dan KH Raden Kamal Hambali.

Budaya Kirab Banyu Panguripan merupakan budaya menyatukan banyu yang berarti air dan panguripan yang berarti kehidupan. Masyarakat berupaya mendapatkan banyu panguripan yang berasal dari sebanyak 51 sumber mata air setelah dikirab dan dibacakan ayat-ayat Al-Quran.  Puluhan sumber mata air dari Kudus tersebut, di antaranya mata air dari Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Rahtawu, Sendang Dewot, Wonosoco, Sendang Dudo, Hadipolo, Sendang Tirto Usodo, Tetis Kapyan Jati, Tirta Tawa, Belik Soka, dll yang kemudian disatukan dalam satu wadah berupa gentong tanah berukir dan telah dikhatamkan Alquran sebanyak 19 kali kemudian untuk dibagikan kepada warga.

Menurut Nadjib, kirab banyu panguripan merupakan bentuk kembalinya lagi sumber mata air kepada leluhur asli Kudus yakni Sunan Kudus. Banyu panguripan memiliki arti luar biasa yang mengandung berbagai oksigen. Bisa diartikan sebagai air kehidupan yang jika dikaji dari buku kosmologi banyak faktor daya tertentu. “Apalagi mengingat Kudus memiliki banyak sumber mata air yang wajib kita jaga,” katanya.

Mengambil tema kearifan dan kedamaian, kirab banyu penguripan tahun ini sebagai sarana refleksi menengok kebelakang dengan simbol kearifan. Banyu panguripan sumber mata air dengan banyak cara dengan tanam pohon, memberikan motivasi tetap menjaga lingkungan tetap lestari. “Mari berdamai dan jaga alam melalui budaya banyu panguripan ini,” tutur Nadjib.

Senada dengan Nadjib, Sekretaris Daerah Kabupaten Kudus, Sam'ani, mengajak masyarakat untuk menyampaikan pesan kedamaian melalui banyu panguripan. Penyatuan air ini merupakan simbol persatuan, maka perbedaan sejatinya adalah suatu keniscayaan yang dapat memperkokoh persatuan. Harus terus kita lestarikan sikap toleransi. Yang mengajarkan arti penting air bagi kehidupan yg memiliki tempat tersendiri. Begitu besar kehidupan air untuk kelestarian dengan menggunakan air dengan bijak tidak membuang sampah pada saluran air. Memastikan aksi nyata dengan penghijauan di kawasan lingkungan masyarakat.

Sam’ani, mengatakan, air yang dikumpulkan tersebut merupakan simbol persatuan yang bisa memperkokoh umat. Terlebih sikap toleransi yang dicontohkan Sunan Kudus sangat baik diteladani oleh masyarakat kita hari ini.

 “Air ini bisa menjadi sumber dakwah dan peran sosial untuk masyarakat menjaganya, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan,” tambahnya.

Bukti toleransi bisa dilihat di kirab budaya panguripan yang siang itu memang diikuti lintas agama di Kudus. Usai apel selesai, pengiring gentong banyu panguripan sedia untuk berjalan menuju Menara. Diawali dengan jejeran Sekretaris Daerah, beserta jajaranya kemudian disusul Pengurus Yayasan Menara Dan Masjid Sunan Kudus yang menunggangi dokar.

Janur kuning, daun, hingga hasil alam seperti pisang maupun terong turut menjadi hiasan masing-masing gentong berisi air yang nantinya akan dijadikan satu. Kirab banyu panguripan yang merupakan bagian dari acara Ta'sis Masjid Al Aqsha Menara Kudus ke 485 ini dimulai dari kawasan Alun-alun Simpang Lima Tujuh dan berakhir di kompleks Menara Kudus. Sesampainya di kompleks Menara Kudus, air yang bersumber dari 51 air sumur yang tersebar di Kudus itu dijadikan satu dalam wadah khusus untuk kemudian didoakan

Layar telepon gengam saya menunjukkan pukul 15.30, tidak hanya saya dan tim majalah pilar, kerumunan orang dari berbagai daerah pun turut menungu dibagikanya banyu panguripan. Warga dan masyarakat sudah kental dengan kepercayaan mereka bahwa sumber mata air yang telah didoakan dengan bacaan Alquran itu bisa memberikan kesehatan dan keberkahan.

Seusai didoakan, warga sontak berebut air yang dibagikan oleh panitia kirab. Mereka membawa wadah berupa botol untuk diisi banyu panguripan. Seakan tidak ingin melewatkan momen ini, warga Kudus, Dewi Puspita (32) yang berbincang dengan saya saat itu mengaku, sudah menunggu pembagian dari siang demi mendapat banyu panguripan.

“Jarang-jarang ada banyu panguripan, mumpung ada ya dimanfaatkan mbak,” katanya.

Rangkaian peringatan hari jadi Masjid Al Aqsa akan digelar Minggu- Senin (24-25/3). Selain kirab air dari 50 sumber mata air, YM3ES juga menggelar festival kuliner tradisinal di Jalan Madurekso (depan Menara Kudus), terbangan kolosal jagong Gusjigang, kirab banyu panguripan, khataman Alquran 19 kali, parade shalawat hadrah, dan pasamuan tasis masjid Al Aqsa Kudus yang dihadiri KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan sastrawan Sosiawan Leak.

 Fita ariyani , 1740210058