Anak muda merupakan aset generasi masa depan penerus bangsa yang
diharapkan mampu bangkit dan memiliki pemikiran revolusioner, fresh dan
kekinian. Namun di sisi lain kebanyakan anak muda terlena dengan kesenangan,
cinta, rebahan, malas-malasan
Coba kita menyoroti kondisi anak muda di dalam kepemimpinan Islam. Sebut
saja Muhammad Al Fatih, yang telah menjadi seorang pemimpin di usianya yang
masih belia. Beliau bahkan telah menaklukkan Konstantinopel yang terkenal tak
terkalahkan pada usia 21 tahun.
Tapi apa yang terjadi sekarang? Sungguh amat disayangkan, apabila
remaja saat ini kurang peka dan tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemegang
estafet kepemimpinan di masa depan. Dan saat ini tentu saja kita membutuhkan
para pemuda berkapasitas yang setara dengan Muhammad Al Fatih yang dapat melakukan perubahan nyata dan
membangun peradaban yang mulia.
Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di
Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan
Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah. Sultan Murad II memiliki
perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar
kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut
terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz,
mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak,
dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa,
seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani.
Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada
tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang
langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan
Konstantinopel. Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan
cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang
strategis.
Tibalah saatnya untuk menalukkan Konstantinopel.
Saat itu Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang
akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pengepungan yang berlangsung tidak
kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani,
menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang
di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium
kecuali dengan melintasi rantai tersebut. Akhirnya Sultan Muhammad menemukan
ide agar bisa melewati pagar tersebut. Ia menggandeng 70 kapalnya melintasi
Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam
waktu yang sangat singkat.
Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali
tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka
lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih
ditumbuhi pohon-pohon besar, menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu
malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang
terjadi.
Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel. Hal tersebut sesuai apa yang telah dijanjikan oleh Nabi Muhammad: “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya” (HR Ahmad).
(Ahmad Santoso
/ 1740210037)




0 Komentar